Senayan City, Jakarta 18 Sept 2008
catatan pertemuan oleh Albaq N. Andrian
Orientasi Keluarga
3 orang wanita dan 1 orang pria. Kami semua berkumpul di sebuah restoran di Jakarta sambil menunggu buka puasa. Semuanya seumuran, di akhir 20-an dan beranjak masuk ke 30. Sebenarnya acara ini lebih kepada acara reuni. 11 tahun lalu kami ada di SMU yang sama di Jakarta. Setelahnya tidak ada satupun diantara kita yang bareng di satu Universitas atau berada dalam satu kantor dengan bidang pekerjaan yang sama. 3 diantara kami saat ini ada di kota yang sama, aku yang diluar kota sejak kuliah. 1 orang produser & presenter di sebuah TV swasta, dia ibu 1 orang putri yang sudah 4 tahun, mungkin dia salah satu yang paling cepat menikah diantara kami semua (tidak hanya diantara kita ber-4). 1 orang lainnya adalah konsultan HR di sebuah perusahaan swasta, lulusan psikologi dari Bandung, memiliki anak laki-laki lucu berumur 2 tahun. Seorang lagi adalah entrepreneur, hidupnya luarbiasa, berbeda dengan kami bertiga, dia telah mampu berdiri di sebuah pusat pertokoan sebagai subjek, bukan hanya kami yang selalu menjadi objek untuk di bajak dompetnya. Anaknya juga laki-laki dengan usianya yang beranjak 2 tahun. Sedangkan aku, seorang bapak dengan 1 anak laki-laki yang baru 9 bulan, juga seorang pegawai dibidang perminyakan, tidak di Jakarta dan merasa yang paling tidak ‘update’ dengan suasana Jakarta.
Kami tidak hidup dalam bidang yang sama. Bagi kami kehidupan seorang teman yang lain terlihat lebih menarik dibandingkan kehidupan kami sendiri. Aku, paling tidak membayangkan enaknya menjadi seorang produser di stasiun TV, selalu jalan-jalan dan keliling dunia dalam suasana yang penuh dengan hiburan. Pendapatannya, seorang temanku yang lain berkata pasti sudah lebih dari dua digit. Seorang konsultan HR yang kantornya ada di dekat pusat perbelanja elite, bagi kami juga menjadi hot-spot sendiri. “Gimana dia mau dibayar kecil, kalau kerjaannya itu melakukan komperasi semua gaji professional di Indonesia”. Celetukan yang simple tapi cukup dalam. Sebenarnya kami tidak hanya ber-4. Kalau dari meja yang sudah di booking, paling tidak kami akan ada 10 orang, bercerita bersama, di meja yang sama, dalam suasana beda dengan meja kafe pelangi yang sering kami tongkrongi di SMU dulu. 20 menit setelah kami berkumpul, 1 sms masuk ke HP aku dan minta maaf bujang satu ini tidak bisa bergabung karena ada masalah administrasi yang harus diselesaikan untuk masternya di Australia. Seorang sarjana ekonomi UGM, yang saat ini mengabdi di Dep.Keuangan. Bagiku dialah calon tunggal pejabat yang akan hadir diantara kami. 1 sms lainnya menyusul 5 menit kemudian, seorang banker, bapak dengan 1 orang putri yang mungkin baru sekitar 3-4 bulan. Kalau dari yang ini sih kami semua sudah tidak pernah berharap banyak, dari dulu memang tidak pernah bisa diharapkan. “Sorry, gue mendadak ada miting hari ini, baru selesai jam 7 malam”. Klasik yah, untung aja dikantor aku tidak pernah ada miting mendadak, di mulai jam 5 sore,dihari kamis yang selesainya udah bisa di tebak jam 7 malam, di bulan puasa yang semua orang yang puasa pasti break di jam 6, paling ngtidak sampai shalat magrib. Sangat tidak efektif. Tapi bagi aku, bukan masalah besar, satu alasan yang aku yakin tersembunyi dan aku yakini adalah soal keluarga. Anaknya pasti sedang lucu-lucunya di umurnya yang masuk bulan ke-4. Puasa pertama dia untuk bareng dengan keluarga ‘barunya’. Apalagi siang tadi ketika telfon, dia masih di RS untuk periksa, atau something imunisasi gitu. Well, aku juga merasakan itu dan tidak ada acara lain yang bisa menandinginya.
Entrepreneur kami berkata kalau dia tidak nyangka, kami bisa sukses di dunia kami masing-masing. Dia yang terlihat paling exited mendengar dan menebak cerita-cerita diantara kami, apalagi kalau menebak masalah penghasilan. Paling tidak yang aku syukuri adalah tidak pernah aku dengar seorang penjahat sekecil apapun yang hadir dari ‘lingkungan’ kami. Dan dalam hatiku, aku mentidakui bahwa teman-temanku ini adalah orang-orang yang hebat, sehebat potensinya yang sudah terlihat sejak SMU. Hanya saja saat itu kami tidak tahu apa itu produser, ngapain aja seorang psikologi, apa itu banker. Kalau saat itu sudah tahu dengan jelas, aku yakin kami semua akan menjadi salah satu diantara itu.
Pembicaraan paling menarik bagi kami adalah anak. Dari semua cerita yang ada aku melihat ekspresi yang berbeda ketika kami bercerita tentang anak-anak kami. Sekedar menanyakan nama, umur dan kejadian yang paling lucu, itu bisa menghabiskan waktu duduk kami disini. Tidak ada satupun diantara kami yang tidak punya foto anak-anak kami. Paling tidak tersimpan rapi di HP kami masing-masing. Dari cerita-cerita itu aku yakin bahwa kehidupan kita sudah milik keluarga, mempunyai tanggung jawab yang tidak pernah kami rasakan sebelumnya, untuk selalu berbuat dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak kami, persis sama seperti yang selalu orang tua kami lakukan selama ini.
Kedewasaan Bersikap
Kami turun ke lantai ground. Niatnya membawa Kia, anak teman kami yang produser,presenter itu untuk bermain di Time Zone. Dia terlihat sangat bersemangat ketika tahu tujuan berikutnya adalah Time Zone. Senyum anak-anak selalu penuh dengan keceriaan. Kita tidak ada yang merasa terganggu dengan sikapnya tadi yang mendadak rewel, well, jelas itu karena kita juga pernah mengalami hal yang sama sebagai orang tua. Dia nyaman dengan dunianya, kami memutuskan untuk duduk di coffe shop dan membiarkannya asik sendiri. 4 orang diantara kami akan bertambah 2 orang lagi, dan wanita lagi. Seorang banker muda dengan pengalaman internasional,juga belum 30 tahun dan masih single. Dia punya cerita yang sangat menarik, tentang sikap dewasanya di negeri orang. Seoarang lagi, terlihat sangat manis, dan juga masih single. Masternya di Australia, punya jiwa dan pilihan hidup yang menurut ku sangat berbeda dengan apa yang pernah ada dalam pikiranku. Kalau aku yang menjadi dia, dengan S2 internasional, aku pasti akan berada di perusahaan multi nasional, tidak peduli sebagai apa tapi jelas well paid. Dia, mungkin tidak seperti itu, dirinya sebagai anak bungsu dengan reputasi keluarga yang begitu tinggi tentu menuntut pengabdiannya yang lain untuk keluarganya. Suatu alasan juga untuk belum menikah, menurutku dia harus dapat pasangan yang jauh lebih baik dari dia, dan itu terbukti sangat susah, kalau bukan langka.
Gaya Banker muda ini masih familiar bagi kami. Bicaranya lancar, tidak tertahan nafas, seolah tidak pernah berpisah dengan kami. 1994 dulu waktu pertama kenal (sebenarnya pertama lihat), yang aku ingat sepatu Air Jordan 93 warna hijau-krem nya. Sepatu yang waktu itu aku ingat betul berharga 300rb dan tidak pernah aku dapatkan. Mata nya melihat dengan tajam setiap lawan bicaranya, sesekali tersenyum dan sering kali terbahak. Masih juga single, satu pilihan hidup juga yang aku yakin dia jalani dengan senyum yang kadang tidak bisa berkembang. Mungkin salah satu diantara 2 orang teman ku yang datang terakhir ini harus ada yang menikah duluan. “Gue pernah loh, ngalamin kejadian yang tidak enak banget waktu gue masih di Malaysia” suara si Manager Bank menyita perhatian kami. Dia kemudian lancar menceritakan peristiwa konyol di negeri orang yang membuat dia shock saat itu. Hanya karena dia orang Indonesia, dia diperlakukan tidak adil di negeri itu. Kesel udah pasti, tapi dia tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin bersikap frontal, karena saat itu diplomatik RI-Malaysia juga lagi dibawah marginal. Pilihan dia diam menerima ocehan konyol polis sana sambil menunggu conselour nya.
Tangannya bermain sms dan menceritakan kejadian itu ke 4 orang yang dia tau tidak juga akan bersikap konyol. Anehnya, tidak ada balesan, mungkin hanya dari 1 diantara 4 orang itu. Reply, sebenarnya ada di internet. SMS nya di posting untuk sharing. Dari kalangan internal sampai dalam waktu singkat menyebar dengan sangat cepat. Dia tahu hatinya lagi jengkel, tidak mau mengambil sikap karena dia yakin akan terpengaruh. Jelas dia kaget ketika tahu sms nya beredar. Semua orang prihatin, kecuali dia pada dirinya sendiri. Telfonnya heboh berdering, dari kantor Antara, KBRI sampai petinggi negri jiran. Sikap tenangnya membuat semua selesai dengan baik, walaupun semua orang tahu Bapak-nya bisa saja membuat cerita yang lain dengan skenario yang berbeda kalu saja dia wanita cengeng. Satu lagi aku melihat kedewasaan orang bersikap. Dan satu lagi penggemar Andrea Hirata di depanku. Mungkin kami layak menjadi Laskar Kodam. Setidaknya itu kata adik ku.
Keterbelakangan Model
Si psikolog yang menjadi HR consultant bilang suaminya akan jemput dan gabung disini. Kami masih asik makan dan bercerita. Tempat duduknya cukup kecil, sebenarnya hanya untuk 4 orang, tapi kami ber-enam. Presenter kami akhirnya pamit paling duluan, anaknya sudah terpuaskan, senyum nya di depan kami jadi bukti. Semua diantara kami dapat bingkisan hijau dari dia. “Sorry ya buat tante yang belum punya dede..makanya cepetan”. Sekali lagi bentuk perhatian yang pasti membekas. Terima kasih dan pasti istriku di rumah lebih senang mendengarnya. Ketika kami tinggal ber-5, sesaat kembali kami menjadi ber-6. Gaya nya unik, ramah dan terbiasa dengan kami. Ini bukan yang pertama kami kedatangan dia sebagai teman-ipar. Teman psikologi kami sering mengajaknya. Dunianya jelas bukan duniaku. Profesinya diantara para jetset musik. Obrolan awalnya saham, menyambung ke tiket konser. “Republik Cinta mau?” dia menawarkan. Surprise, diantara kita tidak ada yang terlihat tertarik. “Rossa?, KD? Titi DJ?”. Tidak juga terlihat antusias. Hasilnya tanpa tiket apapun untuk kami. Semua nya pulang di jam 22. Lewat jalan depan, hanya aku yang kebelakang karena memang berbeda tempat parkir.
Ternyata ada meja ke-2 di belakang. Si psikolog dengan suaminya masih asik menjamu 2 temannya. Aku bergabung sebentar. Mencoba mengamati dan memperhatikan teman-teman baru ku. Seorang laki-laki dan wanita. Yang laki-laki terlihat biasa, yang perempuan jelas pegawai. Aku sepintas langsung teringat perkataan teman lainku di Balikpapan sana. “Waktu gue di Jakarta, gaji gue habis untuk entertain diri sendiri”. Well, itu yang setidaknya aku lihat dihadapanku sekarang. Seorang wanita, dengan gaya yang menarik, dan aku yakin banyak yang harus di korbankannya. Cerita yang ada sekarang didepanku sama sekali tidak menarik buat aku. Aku masih tetap duduk dan mencoba menyimak lebih banyak. Dunia yang mungkin tidak aku kenal. Ceritanya melulu masalah gaya, barang dan pasti tidak lepas dari harga. Jam Mido model baru, Omega harga 15. Blackberry yang belet, MacBook yang mau di jual. Benar-benar Jakarta. Suasana yang aku cuma miliki sesaat dulu, itupun sebatas sepatu basket. Sekarang tidak peduli dengan hal-hal itu. Blackberry? Tidak pernah terasa belet, karena tidak pernah kepingin punya. Jam harga 15? Gila, aku pilih stroller bayi McLarren buat Rahes. MacBook? Lenovo sudah sangat cukup menjawab buat aku. Ternyata sekarang aku ada di dunia dimana aku merasa keterbelakang model. Tidak mengikuti atau tidak passion buat punya. Bukan masalah duitnya, lebih berhasrat untuk kesempatan yang datang pada orang di saat yang tepat. Masternya si pegawai dep.keu di Ausy sana yang membuat aku tidak bisa tidur meng-amininya
Minggu, 21 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)