Minggu, 07 Desember 2008

Bahagia Mu adalah Bahagia Kita, Selamat bro !!

oleh: Albaq Novfri Andrian
9 Nov 2008, katanya dia mau nikah. Telponnya menyampaikan undangan hanya sekitar 1 minggu sebelum acara akad. “Serius nih?” aku masih menekankan keyakinan dan seolah gak percaya. “Iya, baq! Doain ya Insya Allah lancar”. “Insya Allah, btw, siapa nih wanita yang beruntung?” selidikku masih ragu dengan berita yang aku terima. “Namanya Kresia Ramadhanti, anak depkeu juga, lo belum sempat kenal sih”. Anton Fairdian menjelaskan penuh dengan keyakinan, semangat dan harapan.

Jum’at malam tanggal 8 Nov 2008, pesawat ku dari Balikpapan menuju ke Jakarta. Momen ini gak boleh dilewatkan, seorang sahabat terbaik akan menapaki hidup baru, sebuah peristiwa yang selalu ditanyakan kepada nya. Mapan, ganteng, pinter, what else? 29 tahun masih lajang. Ini mungkin jawaban dari penantian, pencarian dia untuk sosok wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anak nya kelak. Anton memang sudah mengenal banyak budaya, dia kuliah di UGM setelah bersama-sama kami satu SMU di Jakarta. 4 tahun cukup baginya untuk menjadi sarjana Ekonomi dan mengenal budaya Jawa. Budaya yang membuatnya berubah, bertutur kata lebih lembut dan memiliki sifat menerima. Budaya yang membuatnya kepincut dengan wanita-wanita Jawa.

Keluarga besarnya memiliki budaya Minang, cukup berbeda. Budaya ini akrab dengan diriku 7 tahun belakangan. Itulah yang membuat aku mengerti kenapa Anton bilang kalau dia ingin dapat orang minang sebagai pendampingnya. Bukan karena alesan apa-apa tapi lebih kepada niat untuk memenuhi keinginan orang tua. Menjadi anak yang berbakti. Satu lagi sifat luar biasa dari dia yang membuatku angkat topi. “Baq, lo pagi jam 8 udah di rumah gue ya, kita berangkat jam 8.30 ke sana!”.”Beres Bro, ntar kalau butuh mobil bilang aja! Gue supirin!” kesempatan untuk berbalas budi ke Anton. Malam masih cukup terang waktu sampai Jakarta, masih jam 20.00, hm.. masih sempat nyuci mobil nih sebelum besok.

8.15 aku sampai dirumahnya. 13 mobil sudah berjejer disana. Gg.Bona terlihat sangat padat dan ramai. Sempat susah juga nyari tempat parkir. Begitu masuk aku langsung tahu kalau keluarga calon pengantin wanita sudah datang menjemput rombongan keluarga pria. Mereka tengah asik berbalas pantun dan pujian bentuk sebuah toleransi di buadaya minang. Anton keluar menyambut ku dengan baju putih-putih. Wajahnya sumringah namun raut ketegangan jelas terlihat dan gak bisa di disembunyikan. Bedak nya cukup tebal bagi seorang laki-laki, setidaknya menurutku. Anton hanya sebentar menemui ku, dia masih sibuk berbenah, makanan sudah tersaji, rendang dan keluarganya pasti ada. Aku sudah gak sabar melihat tradisi sambut-menyambut tamu penjemput. Penasaran apakah mereka masih memakai bahasa minang di Jakarta ini. Sudah berkali-kali di Duri aku terlibat dalam budaya ini, sudah tidak asing bagi orang Jogja seperti aku.

8.40 kami berangkat menuju Kranggan. Wah, kalau saja masih tinggal di Cibubur, aku pasti akan menawarkan rumah ku untuk menjadi base-camp keluarganya Anton. Gak akan lebih dari 30mt dari Legenda ke Kranggan. Perjalanan cukup lancar dan 9.30 kami semua sudah berada disana. Rumah Kresia terlihat sangat dipersiapkan. Tenda-tenda diluar serta tatanan di ruang dalam sudah lengkap dengan pelaminan kecil untuk acara akad. Wisnu dan keluarga datang gak lama setelah kami sampai. Daniel juga hadir, kami asik berbincang dan menunggu Arief. Laki-laki ganteng ini hadir sesaat sebelum acara akad dimulai, dia sendiri, karena gak tahu kalau Wisnu akan membawa istri dan anaknya. Alesan klasik dari seorang Arief.

Ritual, demi ritual berjalan cukup lancar. Akad nikah dipenuhi dengan keluarga dan tetangga serta teman-teman dekat. Dengan modal kamera kecil aku dapat meliuk-liuk masuk kedalam ruang akad yang cukup ramai, padat, dikira juru foto jadi banyak dapat prioritas. Wisnu, Daniel, Arief menunggu di luar dan mendengarkan dari pengeras suara yang ada. Momen itu sangat berarti bagi Anton. Jelas terlihat dari persiapannya yang matang. Gak sadar, air mata pun menetes dari mata ku, menyaksikan seorang sahabat meraih bahagia. Pikiranku mengulang setiap momen-momen ketika kami masih bersama-sama di 81. Masih sangat jelas dan membekas. Sekarang sahabatku ini akan menjadi pemimpin yang pasti akan segera meninggalkan kami dalam beraktifitas. Peristiwa yang sudah terlebih dahulu kami lalui. Ya, jelas perasaan bahagia membuncah di dada ku.

Jika ada hal yang perlu dikomentari dan di tertawai adalah ketika ijab kabul dilakukan. Dengan sangat lancar, kecepatan penuh serta tidak terputus, Anton mengucapkannya. Sontak kami semua tertawa dan tersenyum bahagia. “Gile, kenceng amat ton.. dah gak sabar ya?” tanpa pikir panjang pun seluruh saksi mengatakan sah-sah-sah. Haha.. cukup menggelitik dan aku yakin akan menjadi momen indah untuk selalu kami ceritakan kembali sampai kapan pun.

Sahabat, selamat menempuh hidup baru, semoga senantiansa menjadi keluarga Sakinah, mawadah, waromah dan dikarunia keturunan yang mejadi kebanggaan keluarga, negara dan agama, amin. Bahagia sehabat kami ini, jelas menjadi bahagia tidak terpisahkan bagi kami, selamat bro!

Minggu, 21 September 2008

4+2 = 8197

Senayan City, Jakarta 18 Sept 2008
catatan pertemuan oleh Albaq N. Andrian

Orientasi Keluarga

3 orang wanita dan 1 orang pria. Kami semua berkumpul di sebuah restoran di Jakarta sambil menunggu buka puasa. Semuanya seumuran, di akhir 20-an dan beranjak masuk ke 30. Sebenarnya acara ini lebih kepada acara reuni. 11 tahun lalu kami ada di SMU yang sama di Jakarta. Setelahnya tidak ada satupun diantara kita yang bareng di satu Universitas atau berada dalam satu kantor dengan bidang pekerjaan yang sama. 3 diantara kami saat ini ada di kota yang sama, aku yang diluar kota sejak kuliah. 1 orang produser & presenter di sebuah TV swasta, dia ibu 1 orang putri yang sudah 4 tahun, mungkin dia salah satu yang paling cepat menikah diantara kami semua (tidak hanya diantara kita ber-4). 1 orang lainnya adalah konsultan HR di sebuah perusahaan swasta, lulusan psikologi dari Bandung, memiliki anak laki-laki lucu berumur 2 tahun. Seorang lagi adalah entrepreneur, hidupnya luarbiasa, berbeda dengan kami bertiga, dia telah mampu berdiri di sebuah pusat pertokoan sebagai subjek, bukan hanya kami yang selalu menjadi objek untuk di bajak dompetnya. Anaknya juga laki-laki dengan usianya yang beranjak 2 tahun. Sedangkan aku, seorang bapak dengan 1 anak laki-laki yang baru 9 bulan, juga seorang pegawai dibidang perminyakan, tidak di Jakarta dan merasa yang paling tidak ‘update’ dengan suasana Jakarta.
Kami tidak hidup dalam bidang yang sama. Bagi kami kehidupan seorang teman yang lain terlihat lebih menarik dibandingkan kehidupan kami sendiri. Aku, paling tidak membayangkan enaknya menjadi seorang produser di stasiun TV, selalu jalan-jalan dan keliling dunia dalam suasana yang penuh dengan hiburan. Pendapatannya, seorang temanku yang lain berkata pasti sudah lebih dari dua digit. Seorang konsultan HR yang kantornya ada di dekat pusat perbelanja elite, bagi kami juga menjadi hot-spot sendiri. “Gimana dia mau dibayar kecil, kalau kerjaannya itu melakukan komperasi semua gaji professional di Indonesia”. Celetukan yang simple tapi cukup dalam. Sebenarnya kami tidak hanya ber-4. Kalau dari meja yang sudah di booking, paling tidak kami akan ada 10 orang, bercerita bersama, di meja yang sama, dalam suasana beda dengan meja kafe pelangi yang sering kami tongkrongi di SMU dulu. 20 menit setelah kami berkumpul, 1 sms masuk ke HP aku dan minta maaf bujang satu ini tidak bisa bergabung karena ada masalah administrasi yang harus diselesaikan untuk masternya di Australia. Seorang sarjana ekonomi UGM, yang saat ini mengabdi di Dep.Keuangan. Bagiku dialah calon tunggal pejabat yang akan hadir diantara kami. 1 sms lainnya menyusul 5 menit kemudian, seorang banker, bapak dengan 1 orang putri yang mungkin baru sekitar 3-4 bulan. Kalau dari yang ini sih kami semua sudah tidak pernah berharap banyak, dari dulu memang tidak pernah bisa diharapkan. “Sorry, gue mendadak ada miting hari ini, baru selesai jam 7 malam”. Klasik yah, untung aja dikantor aku tidak pernah ada miting mendadak, di mulai jam 5 sore,dihari kamis yang selesainya udah bisa di tebak jam 7 malam, di bulan puasa yang semua orang yang puasa pasti break di jam 6, paling ngtidak sampai shalat magrib. Sangat tidak efektif. Tapi bagi aku, bukan masalah besar, satu alasan yang aku yakin tersembunyi dan aku yakini adalah soal keluarga. Anaknya pasti sedang lucu-lucunya di umurnya yang masuk bulan ke-4. Puasa pertama dia untuk bareng dengan keluarga ‘barunya’. Apalagi siang tadi ketika telfon, dia masih di RS untuk periksa, atau something imunisasi gitu. Well, aku juga merasakan itu dan tidak ada acara lain yang bisa menandinginya.
Entrepreneur kami berkata kalau dia tidak nyangka, kami bisa sukses di dunia kami masing-masing. Dia yang terlihat paling exited mendengar dan menebak cerita-cerita diantara kami, apalagi kalau menebak masalah penghasilan. Paling tidak yang aku syukuri adalah tidak pernah aku dengar seorang penjahat sekecil apapun yang hadir dari ‘lingkungan’ kami. Dan dalam hatiku, aku mentidakui bahwa teman-temanku ini adalah orang-orang yang hebat, sehebat potensinya yang sudah terlihat sejak SMU. Hanya saja saat itu kami tidak tahu apa itu produser, ngapain aja seorang psikologi, apa itu banker. Kalau saat itu sudah tahu dengan jelas, aku yakin kami semua akan menjadi salah satu diantara itu.
Pembicaraan paling menarik bagi kami adalah anak. Dari semua cerita yang ada aku melihat ekspresi yang berbeda ketika kami bercerita tentang anak-anak kami. Sekedar menanyakan nama, umur dan kejadian yang paling lucu, itu bisa menghabiskan waktu duduk kami disini. Tidak ada satupun diantara kami yang tidak punya foto anak-anak kami. Paling tidak tersimpan rapi di HP kami masing-masing. Dari cerita-cerita itu aku yakin bahwa kehidupan kita sudah milik keluarga, mempunyai tanggung jawab yang tidak pernah kami rasakan sebelumnya, untuk selalu berbuat dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak kami, persis sama seperti yang selalu orang tua kami lakukan selama ini.


Kedewasaan Bersikap

Kami turun ke lantai ground. Niatnya membawa Kia, anak teman kami yang produser,presenter itu untuk bermain di Time Zone. Dia terlihat sangat bersemangat ketika tahu tujuan berikutnya adalah Time Zone. Senyum anak-anak selalu penuh dengan keceriaan. Kita tidak ada yang merasa terganggu dengan sikapnya tadi yang mendadak rewel, well, jelas itu karena kita juga pernah mengalami hal yang sama sebagai orang tua. Dia nyaman dengan dunianya, kami memutuskan untuk duduk di coffe shop dan membiarkannya asik sendiri. 4 orang diantara kami akan bertambah 2 orang lagi, dan wanita lagi. Seorang banker muda dengan pengalaman internasional,juga belum 30 tahun dan masih single. Dia punya cerita yang sangat menarik, tentang sikap dewasanya di negeri orang. Seoarang lagi, terlihat sangat manis, dan juga masih single. Masternya di Australia, punya jiwa dan pilihan hidup yang menurut ku sangat berbeda dengan apa yang pernah ada dalam pikiranku. Kalau aku yang menjadi dia, dengan S2 internasional, aku pasti akan berada di perusahaan multi nasional, tidak peduli sebagai apa tapi jelas well paid. Dia, mungkin tidak seperti itu, dirinya sebagai anak bungsu dengan reputasi keluarga yang begitu tinggi tentu menuntut pengabdiannya yang lain untuk keluarganya. Suatu alasan juga untuk belum menikah, menurutku dia harus dapat pasangan yang jauh lebih baik dari dia, dan itu terbukti sangat susah, kalau bukan langka.
Gaya Banker muda ini masih familiar bagi kami. Bicaranya lancar, tidak tertahan nafas, seolah tidak pernah berpisah dengan kami. 1994 dulu waktu pertama kenal (sebenarnya pertama lihat), yang aku ingat sepatu Air Jordan 93 warna hijau-krem nya. Sepatu yang waktu itu aku ingat betul berharga 300rb dan tidak pernah aku dapatkan. Mata nya melihat dengan tajam setiap lawan bicaranya, sesekali tersenyum dan sering kali terbahak. Masih juga single, satu pilihan hidup juga yang aku yakin dia jalani dengan senyum yang kadang tidak bisa berkembang. Mungkin salah satu diantara 2 orang teman ku yang datang terakhir ini harus ada yang menikah duluan. “Gue pernah loh, ngalamin kejadian yang tidak enak banget waktu gue masih di Malaysia” suara si Manager Bank menyita perhatian kami. Dia kemudian lancar menceritakan peristiwa konyol di negeri orang yang membuat dia shock saat itu. Hanya karena dia orang Indonesia, dia diperlakukan tidak adil di negeri itu. Kesel udah pasti, tapi dia tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin bersikap frontal, karena saat itu diplomatik RI-Malaysia juga lagi dibawah marginal. Pilihan dia diam menerima ocehan konyol polis sana sambil menunggu conselour nya.
Tangannya bermain sms dan menceritakan kejadian itu ke 4 orang yang dia tau tidak juga akan bersikap konyol. Anehnya, tidak ada balesan, mungkin hanya dari 1 diantara 4 orang itu. Reply, sebenarnya ada di internet. SMS nya di posting untuk sharing. Dari kalangan internal sampai dalam waktu singkat menyebar dengan sangat cepat. Dia tahu hatinya lagi jengkel, tidak mau mengambil sikap karena dia yakin akan terpengaruh. Jelas dia kaget ketika tahu sms nya beredar. Semua orang prihatin, kecuali dia pada dirinya sendiri. Telfonnya heboh berdering, dari kantor Antara, KBRI sampai petinggi negri jiran. Sikap tenangnya membuat semua selesai dengan baik, walaupun semua orang tahu Bapak-nya bisa saja membuat cerita yang lain dengan skenario yang berbeda kalu saja dia wanita cengeng. Satu lagi aku melihat kedewasaan orang bersikap. Dan satu lagi penggemar Andrea Hirata di depanku. Mungkin kami layak menjadi Laskar Kodam. Setidaknya itu kata adik ku.


Keterbelakangan Model

Si psikolog yang menjadi HR consultant bilang suaminya akan jemput dan gabung disini. Kami masih asik makan dan bercerita. Tempat duduknya cukup kecil, sebenarnya hanya untuk 4 orang, tapi kami ber-enam. Presenter kami akhirnya pamit paling duluan, anaknya sudah terpuaskan, senyum nya di depan kami jadi bukti. Semua diantara kami dapat bingkisan hijau dari dia. “Sorry ya buat tante yang belum punya dede..makanya cepetan”. Sekali lagi bentuk perhatian yang pasti membekas. Terima kasih dan pasti istriku di rumah lebih senang mendengarnya. Ketika kami tinggal ber-5, sesaat kembali kami menjadi ber-6. Gaya nya unik, ramah dan terbiasa dengan kami. Ini bukan yang pertama kami kedatangan dia sebagai teman-ipar. Teman psikologi kami sering mengajaknya. Dunianya jelas bukan duniaku. Profesinya diantara para jetset musik. Obrolan awalnya saham, menyambung ke tiket konser. “Republik Cinta mau?” dia menawarkan. Surprise, diantara kita tidak ada yang terlihat tertarik. “Rossa?, KD? Titi DJ?”. Tidak juga terlihat antusias. Hasilnya tanpa tiket apapun untuk kami. Semua nya pulang di jam 22. Lewat jalan depan, hanya aku yang kebelakang karena memang berbeda tempat parkir.
Ternyata ada meja ke-2 di belakang. Si psikolog dengan suaminya masih asik menjamu 2 temannya. Aku bergabung sebentar. Mencoba mengamati dan memperhatikan teman-teman baru ku. Seorang laki-laki dan wanita. Yang laki-laki terlihat biasa, yang perempuan jelas pegawai. Aku sepintas langsung teringat perkataan teman lainku di Balikpapan sana. “Waktu gue di Jakarta, gaji gue habis untuk entertain diri sendiri”. Well, itu yang setidaknya aku lihat dihadapanku sekarang. Seorang wanita, dengan gaya yang menarik, dan aku yakin banyak yang harus di korbankannya. Cerita yang ada sekarang didepanku sama sekali tidak menarik buat aku. Aku masih tetap duduk dan mencoba menyimak lebih banyak. Dunia yang mungkin tidak aku kenal. Ceritanya melulu masalah gaya, barang dan pasti tidak lepas dari harga. Jam Mido model baru, Omega harga 15. Blackberry yang belet, MacBook yang mau di jual. Benar-benar Jakarta. Suasana yang aku cuma miliki sesaat dulu, itupun sebatas sepatu basket. Sekarang tidak peduli dengan hal-hal itu. Blackberry? Tidak pernah terasa belet, karena tidak pernah kepingin punya. Jam harga 15? Gila, aku pilih stroller bayi McLarren buat Rahes. MacBook? Lenovo sudah sangat cukup menjawab buat aku. Ternyata sekarang aku ada di dunia dimana aku merasa keterbelakang model. Tidak mengikuti atau tidak passion buat punya. Bukan masalah duitnya, lebih berhasrat untuk kesempatan yang datang pada orang di saat yang tepat. Masternya si pegawai dep.keu di Ausy sana yang membuat aku tidak bisa tidur meng-amininya

Jumat, 19 Oktober 2007

Meet Mr.Anton Fairdian

“posisi dimana nih? Rumah ortu atau cibubur?” “gue di rumah ortu Ton, loe dah balik nih? Kapan?” gue bersemangat waktu Anton telpon, saat itu gue masih berfikir temen gue yang satu ini masih ada di Korea, menyelesaikan kursusnya. Gue lupa kalau dia sudah disana lebih dari dua minggu. “.. ya udah nanti jam 12-an gue ke rumah deh” Anton menjanjikan. Memang rumah Anton dan rumah ortu gue gak terlalu jauh cuma sekitar 10 mt naik motor, penggilingan pondok kopi ke bintara.” Ton bawa mobil ya.. ntar sekalian jalan-jalan..” “Loh kan mau nyobain Jazz” Anton menyauti. “Lagi di pakai abang gue..”

Jam 13:00 tanggal 18 Oktober kemarin Anton sampai di rumah gue. Wah, seru deh kita-kita dengar cerita dia soal Korea, suatu tempat yang menjanjikan ekonomi industri yang begitu baik. Hyundai heavy industri jadi cerita yang lebih seru lagi, karena banyak struktur dari platform tengah laut tempat kerja gue yang di rakit disana. “Port nya besar Baq, dan Korea begitu optimis dengan perkembangan industrinya”. “trus lo kursus apa disana?” gue semakin semangat ingin tahu tentang kegiatan Anton disana. “Gue belajar tentang kebijakan finansial..jadi ada beberapa negara yang kebijakan keuangannya sudah begitu baik dibandingkan negara kita, nah, gue dapat pelajaran tentang cara mereka menciptakan iklim itu”.

Kita ngobrol ngalur ngidul sambil bermaafan dalam suasana lebaran ini, sampai akhirnya jam 16:00 dokter kandungan istri gue di MMC telfon untuk memajukan jam kunjungannya. Anton, gue, Eka-istri gue dan Wenno-adik gue akhirnya ke MMC Kuningan untuk menemui dokter kandungan. Jam 17-an kita sudah selesai di MMC dan memutuskan untuk cari makan dulu sebelum balik ke rumah. “Tenang.. gue yang traktir, soalnya gue gak bawa oleh-oleh nih..” tumben-tumbenan Anton ngomong gini nih.. hehehe

Sate Sabang tadinya jadi inceran gue. Tapi Wenno punya ide lain untuk kongkow di Kemang, mumpung masih sepi katanya..
Kita sampai sana pas magrib dan dapat tempat shalat di depan Kemang Foodcourt-nya. “..gila gue dah lama banget out of this town..banyak yang udah gak gue tau di Jakarta ini” batin gue dalam hati. Dan dasar gue ndeso.. gue kaget banget pas kita duduk, hampir seluruh pelayannya nyerbu kita untuk nyodorin menu makan mereka.. “wuis..bingung gue..kayak artis nih No, diserbu minta tanda tangan..hehe” sindir gue ke Wenno adik gue.


Akhirnya kita makan dan you guys know what.. Anton paid all the bill !! hehehe, mantap Ton, sering-sering yaks. Pantesan tadi gue makannya kok terasa wuenak banget yah.. hahaha..
Satu hal yang paling gue rasakan saat itu adalah suasana akrab saat ketemu teman SMU. Gue bangga banget dengan teman gue ini, melangkah dengan kakinya dan berdiri dengan keyakinannya. Alumni FE UGM ini gue yakin punya masa depan yang bagus benget di Dept. Keuangan. Silaturahmi jadi suatu sarana untuk menambah doa menuju ke masa depan. Trims banget bro.. !!

albaq